Balikpapan, Nomorsatukaltim.com – Temuan kasus Coronavirus Disease 2019 di Kalimantan Timur masih terus bertambah setiap hari. Para dokter pun sepakat. Virus ini jahat. Mereka menjuluki virus seribu wajah. Gejalanya bisa berubah-ubah. Termasuk sindrom happy hypoxia.
DATA pada Selasa (22/9) kasus COVID-19 di Indonesia mencatatkan rekor baru. Dengan tambahan 4.176 kasus harian. Sehingga total 253 ribu orang terinfeksi. Total sebanyak 9.837 meninggal dunia dan 184 ribu dinyatakan sembuh.
Sementara di Kalimantan Timur, tercatat 272 kematian, dengan total mencapai 6.954 kasus. Angka positivity rate di Kaltim berada di angka 3,9 persen. Masih pada ambang batas standar WHO yang menetapkan 5 persen.
Setelah menyebar ke seluruh penjuru dunia, 2019-nCoV terus bermutasi. Dengan gejala yang ditimbulkan berbeda-beda. Para peniliti kini merangkum tiga gejala umum yang diakibatkan SARS generasi kedua ini. Yakni batuk kering, demam dengan suhu yang di atas 37 derajat celcius. Dan penurunan fungsi indera perasa dan penciuman.
Tetapi baru-baru ini, mengemuka soal gejala kritis yang ditemukan pada penderita COVID-19. Yaitu penurunan oksigen dalam darah secara cepat dan signifikan. Gejala tersebut dikenal dengan istilah happy hypoxia. Awal ditemukan di Italia.
Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie (AWS) Samarinda mengkonfirmasi nyaris semua pasien COVID-19 di rumah sakit itu mengalami kondisi ini.
Sementara Spesialis Paru dari Rumah Sakit Pertamina Balikpapan, dr. Elies Pitriani, Sp.P mengatakan happy hypoxia pada pasien covid terjadi begitu cepat.
Dia pernah menemukan pasien covid yang datang dalam kondisi stabil. Artinya hanya mengalami gejala ringan hingga sedang, seperti demam dan mual. Namun kondisinya berubah dalam waktu singkat. Kurang dari enam jam pasien tersebut tiba-tiba mengalami batuk secara terus menerus tanpa henti selama beberapa jam. Meskipun pada saat itu, pasien tidak mengalami sesak sama sekali.
Dokter Elies menyebut hal semacam ini sebagai mekanisme awal mula terjadinya badai sitokin.
BADAI SITOKIN
Dokter Elies Pitriani menjelaskan tentang peristiwa klinis ini. Badai sitokin adalah istilah adanya sitokin inflamasi atau sel peradangan yang meningkat jumlahnya di luar kapasitas tubuh manusia secara normal untuk menerima. Sehingga menyebabkan peradangan atau inflamasi di dalam tubuh semakin meningkat. Itu yang mendorong virus ini semakin aktif mengaktivasi diri di dalam tubuh.
Badai sitokin pada pasien COVID-19 terjadi dalam proses yang sangat cepat. Diantara tanda-tandanya ialah mengalami happy hypoxia atau desaturasi oksigen. โMerasa tidak nyaman, dada seperti tertimpa sesuatu. Padahal dia tidak merasa sesak,” ucapnya.
Tanda-tanda lainnya ialah demam yang dialami tiba-tiba dan terjadi terus-menerus. Sehingga tingkat keparahan akan semakin meningkat.
Dia mengatakan, tim dokter di RSPB menandai potensi badai sitokin melalui penilaian laboratorium dan pemeriksaan fisik. Indikasi badai sitokin yang ditemui melalui pemeriksaan fisik ialah adanya peningkatan mulai dari sistemik sampai gejala respiratorik di paru atau saluran pernapasan.
Kendati pun, terkadang pemeriksaan fisik tidak menunjukkan apapun. “Penderita covid ini silent cues. Kadang-kadang pemeriksaan tidak ditemukan bronki atau bunyi pada paru-paru. Walaupun dari hasil rontgen menunjukkan adanya peradangan, infiltrat dan sebagainya,” urai anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) itu. “Inilah ciri khas orang covid, luar biasa (ganas),” katanya lagi.
CACAT PERMANEN PADA PARU
Tim dokter yang melaksanakan terapi pada pasien COVID-19 di RSPB menemukan ada potensi kecacatan yang terjadi pada paru-paru orang yang terinfeksi virus corona. “Ini luar biasa,” kata dr. Elies Pitriani.
Pemburukan pada organ paru tersebut tampak dari CT Scan yang dilakukannya terhadap pasien.
Dia menambahkan, pada gambaran foto toraks kadang terlihat adanya opasitas atau bercakan yang banyak, dengan perburukan yang cepat.
Hal ini mengkhawatirkan, sebab kata dr. Elies, cacat atau bekas infiltrat yang ditinggalkan COVID-19 pada paru-paru tidak bisa hilang seumur hidup. Namun ia kemudian memberikan disklaimer. Dia menyebutkan, pada banyak kasus sembuh yang dievalusi, hasil foto toraks menunjukkan perbaikan.
Dokter Elies mengatakan, perbaikan jejak virus SARS-CoV-2 pada paru itu terjadi pada penyintas usia muda, pasien tanpa komorbid. Kemudian mereka yang cepat mendapatkan penanganan. Sebelum sempat berada pada kondisi badai sitokin. Kriteria keadaan pasien di atas, katanya, memiliki kemungkinan bisa memperoleh kondisi paru yang kembali sempurna. Bagus seperti sedia kala.
“Memang pada jurnal yang mengenalkan mengenai adanya indikasi infiltrat itu. Tidak seratus persen terjadi pada mantan penderita covid,” tuturnya.
Hanya saja, ia melanjutkan, pada pasien yang berusia tua, memiliki banyak komorbid, dan yang pada saat mendapat penanganan kondisinya sudah terlanjur buruk, maka mereka sangat berisiko menerima adanya infiltrat atau fibrosa (bekasan) pada organ paru-parunya.
Dampaknya adalah kapsitas paru jadi berkurang. “Paru itu kalau dibuka, luasnya seperti lapangan tenis. Bayangkan seperempat lapangan tenis itu sudah tidak bisa dipakai (bernapas),” jelas dokter Elies.
“Artinya, si penyintas yang berusia tua dan memiliki komorbid tadi tidak lagi bisa menggunakan paru seratus persen,” tambahnya.
LANGKAH PENANGANAN DI RS
Pulmunolog asal Banyuwangi, Jawa Timur itu mengklaim, pasien meninggal di RSPB hanya tiga sampai lima persen. Dari 800 pasien yang telah ditangani selama pandemi. “Kami menjaga agar dia (pasien) tidak sampai jatuh dalam kondisi yang lebih berat,” ujar pimpinan tim dokter terapi di rumah sakit tersebut.
Pada saat kondisi pasien masih ringan hingga sedang, para dokter harus memulai tata laksana. Berusaha seadi kuat mungkin untuk menghindari pasien jatuh pada kondisi berat. “Sebagai klinisi, kita harus punya feeling, bahwa keadaan pasien mengarah pada badai sitokin. Kalau itu bisa diatasi, maka insyaallah keaadaan paru-nya tetap bagus.”
Apa yang pasien tersebut butuhkan saat kondisi berat?. Pertama dokter melihat secara klinis, jika gagal napas, diberikan high flow oxymetry. Juga untuk mengatasi, dengan nava mode ventilator. Atau mode ventilator. “Itu kita pressure oxsigen-nya,” jelasnya.
Lalu diberikan terapi adi kuat, semacam antibiotik. Kemudian golongan kortikosteroid atau hormon senyawa regulator. Dan golongan tambahan lainnya.
Bisa menggunakan terapi Intravenous Immunoglobulin (IVIg). Plasmapheresis dan plasma konvalesen. Inhibitor IL-6 dan sebagainya. “Kalau kami menggunakan intravena imunoglogobin,” terangnya.
Pada pasien dengan badai sitokin masih memiliki peluang besar untuk selamat. Jika tertangani seperti cara-cara tersebut di atas. “Insyaallah akan membaik dengan sempurna. Yang panting sudah menemukan ICU. Kita tata laksana dengan tepat. Agar pasien bisa pulang dengan kondisi selamat dan sehat,” sambungnya.
Kiatnya, kata dokter tersebut, intinya dalam kondisi sedang menuju berat, tim dokter harus benar-benar monitoring ketat. Dan menyiapkan terapi yang diperlukan sesuai perkembangan keadaan pasien.
Meskipun, kata dia, tidak ada literatur yang menyebutkan bahwa terapi-terapi tersebut bisa mengatasi. Namun ini salah satu upaya yang bisa saat ini.
MANAJEMEN PENANGANAN DI LUAR RS
Kepala Dinas Kesehatan Kota Balikpapan, Andi Sri Juliarty, menjelaskan bagaimana pola penanganan pada temuan kasus COVID-19. Berdasarkan panduan terbaru oleh pemerintah.
Yang pertama, pasien dengan kriteria gejala sedang hingga berat, akan dirawat di rumah sakit. Saat ini jumlahnya di Balikpapan sebanyak 219 pasien. Ditempatkan di delapan RS rujukan.
Sementara untuk pasien terkonfirmasi positif namun tanpa gejala hingga bergejala ringan, hanya dilakukan isolasi mandiri. Baik di rumah pasien tersebut, di tempat yang disediakan oleh perusahaan tempatnya bekerja dan tempat isolasi mandiri yang disediakan pemerintah daerah. Saat ini tercatat sebanyak 572 pasien melakukan isolasi mandiri di Balikpapan.
Pasien-pasien isolasi mandiri tersebut berada dalam pantauan Diskes Balikpapan melalui jaringan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang tersebar di hampir setiap kelurahan.
Setiap hari puskesmas wajib berkomunikasi dengan pasiennya. Serta menyuplai vitamin untuk memperkuat imun. Kemudian pasien telah diarahkan, jika terjadi keluhan, segera menghubungi puskesmas untuk penanganan lebih lanjut.
Ada beberapa kasus pasien isolasi mandiri secara tiba-tiba kondisinya memburuk. “Tetapi itu bukan diagnosa. Itu gejala sesak napas tiba-tiba. Itulah mengapa pasien isolasi mandiri perlu dipantau,” paparnya.
BATAS WAKTU PENULARAN
Andi Sri Juliarty menyampaikan teori terbaru yang menjadi pijakan dalam manajemen penanganan wabah pandemi ini. Bahwa penularan COVID-19 dibuktikan dengan keberhasilan virus dari swab untuk dikultur atau ditumbuhkan sel lain. Bukan berdasarkan hasil pemeriksaan PCR.
Artinya, hasil PCR positif tidak berbanding lurus dengan potensi atau kemampuan menularkan. SARS-CoV-2 terbukti memang masih terdeteksi positif pada RNA dari pemeriksaan PCR, namun sudah tidak mampu menulari orang lain pada masa tertentu.
Karenanya, mayoritas pasien COVID-19 hanya dapat menulari orang lain hingga tujuh sampai sembilan hari setelah gejala muncul. (Berdasarkan teori: Bullard, 2020; Wolfel, 2020).
Teori kedua ilmuan tersebut, menyatakan kemampuan penularan ditentukan berdasarkan kultur virus pada sel. “Virus tidak dapat dikultur di sel setelah hari ke 7-9 pasca bergejala, meskipun hasil PCR masih mungkin positif. Namun penghitungan hari kultur tidak dapat dilakukan pada pasien bergejala berat, akan berbeda,” terang Sri Juliarty mengenai teori itu.
Karena, jika derajat keparahan pasien meningkat, artinya waktu COVID-19 dapat menular semakin lama. Berdasarkan teori tersebut, kata Sri, protokol baru dari Kemenkes menyatakan pasien dengan gejala ringan boleh menyelesaikan isolasi mandiri setelah tiga hari tidak muncul lagi gejala.
Tanpa harus pemeriksaan PCR. Begitupun, bagi pasien tanpa gejala yang isolasi mandiri dapat dinyatakan selesai setelah sepuluh hari. Tanpa tindak lanjut pemeriksaan PCR. (das/yos/dah)