Nomor Satu Kaltim
    Facebook Twitter Instagram YouTube Telegram RSS
    Sabtu, 25 Maret 2023
    Breaking News :
    • Menhub Sarankan Cuti Lebaran Dimajukan
    • Genjot Indeks Pertanaman, Kementan Salurkan Bantuan Pengairan
    • Kaltim Kembangkan Hortikultura Berorientasi Ekspor
    • Sawit Mendominasi Ekspor Pertanian Kaltim
    • Cegah PMK, 1,5 Ton Daging Babi Ditahan Karantina Balikpapan
    • Saridi Husein
    • Din Syamsuddin Nilai Larangan Buka Bersama Tidak Adil
    • Pendaftaran Beasiswa Kukar Idaman Dibuka April Tahun Ini
    • Olahan Ikan Asin Melimpah, PemDes Semayang Dorong Masuk PADes
    • Dispar Kukar Gelar Seabrek Lomba di Milenial Hijrah Festival
    Nomor Satu Kaltim
    Twitter Facebook Instagram YouTube Telegram RSS
    Login
    • Utama
      • Lapsus
    • Metropolis
      • Balikpapan
      • Samarinda
    • Daerah
      • Kutim
      • Kukar
      • Kubar
      • Bontang
      • Penajam
      • Paser
      • Berau
      • Mahulu
      • Kaltara
    • Ekonomi
      • Perbankan
      • Pajak
      • SAHAM
      • Oil and Gas
    • Nasional
      • COVID-19
      • Politik
    • Disway
      • Catatan Dahlan Iskan
      • Catatan Rizal Effendi
      • Kolom Redaksi
    • Ragam
      • Olahraga
      • Podcast
        • Video Terbaru
        • LIVE
      • Feature
      • Opini
      • Cerita Rakyat
      • Hiburan & Gaya Hidup
      • Clearing Hoax
      • Resep
      • Index Berita
    • Advertorial
      • DPRD Kutai Timur
    • Network
      • Nomor Satu Utara
      • DI’s Way
    Nomor Satu Kaltim
    Home»Index Berita»Disway»Catatan Dahlan Iskan»Kiai Profesor
    Catatan Dahlan Iskan

    Kiai Profesor

    By DiswayRabu, 4 Maret 2020, 07:00 WITA7 Mins Read
    Facebook Twitter WhatsApp Telegram Email
    Bagikan
    Facebook Twitter WhatsApp Telegram Email

    Untuk apa sampai perlu mengejar gelar profesor?

    Bagi Kiai Asep Saifudin Chalim tujuannya konkret sekali: ingin membuka universitas internasional.

    Dan ia sendiri yang akan memimpinnya.

    Dan itu harus terjadi dalam lima tahun ini.

    Hakekatnya beliau sudah mampu melakukan itu tanpa gelar profesor. Baik dari segi finansial, jaringan, kapasitas intelektual, maupun ide besar. Dan utama dari track record-nya di bidang pembangunan pendidikan.

    Tapi persyaratan formal dari pemerintah mengharuskan gelar doktor dan profesor.

    ”Inilah penganugerahan gelar profesor yang tidak perlu mempersoalkan hakekatnya. Ini hanya syari’atnya saja,” ujar Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.

    Sang rektor, Prof. Dr. Masdar Hilmy adalah orang Tegal dengan gelar doktor dari Melbourne University. Sejak muda Masdar sudah menjadi penulis di koran nasional, termasuk Kompas. Tema tulisannya biasanya tentang multikulturalisme.

    Masdar tahu persis kapasitas dan hasil karya Kiai Asep. ”Beliau sebenarnya sudah tidak memerlukan gelar ini,” kata Prof. Masdar Hilmy dalam pidatonya Sabtu lalu.

    Untuk mendirikan perguruan tinggi internasionalnya itu Kiai Asep sudah menyiapkan tanah 60 hektare. Lokasinya di Pacet, di perbukitan cukup indah di selatan Mojokerto, Jatim.

    Di Pacet itu pula Kiai Asep membangun pondok pesantren. Sudah dilakukan.

    Tergolon baru: tahun 2007. Tapi perkembangannya luar biasa pesat : mutunya, sistem pengajarannya maupun fisik kampusnya.

    Areal tanahnya bertambah terus. Tiap bulan beli tanah baru. Awalnya hanya 1 hektare. Kini sudah mencapai 40 hektare lebih. Dan akan segera menjadi 100 hektare.

    Siswanya juga terus bertambah.

    Kini sudah lebih 10.000 orang. Belum ada pesantren baru yang kepesatan pertumbuhannya secepat itu.

    Nama pesantren tersebut: Amanatul Ummah. Tidak ada hubungannya dengan Partai Amanat Nasional –yang dibidani Muhammadiyah itu. Kiai Asep adalah tokoh NU (Nahdlatul Ulama). Bahkan ia jadi NU sudah sejak sebelum lahir. Ayahnya adalah salah satu kuai besar pendiri NU –Kiai Abdul Chalim.

    Sebetulnya Kiai Asep sudah pula mendirikan perguruan tinggi di Pacet itu. Saya ikut peresmiannya, empat tahun lalu. Lokasinya di sebelah Amanatul Ummah.

    Namanya: Institute Abdul Chalim –untuk menghormati bapaknya. Sudah pula memiliki mahasiswa dari 10 negara.

    Tapi Kiai Asep belum puas dengan semua itu. Ia akan terus mengembangkan pendidikan. Sampai terbayar ”dendam” nya waktu kecil.

    Waktu itu awal Orde Baru. Sepanjang jalan di Jatim –arah Pandaan– banyak berdiri pabrik baru. Mayoritas milik asing.

    Ia pun berpikir siapa yang akan bekerja di situ. Pasti hanya yang berpendidikan dan yang pintar. Tidak mungkin pribumi Islam bisa bekerja di situ.

    Maka Asep muda menetapkan arah hidupnya: meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Lewat pendidikan.

    Itu tidak mudah. Ayahnya meninggal saat Asep masih kelas 2 SMPN 1 Sidoarjo. Tidak ada lagi kiriman bekal hidup.

    Baca Juga:  Dokter Sumpah

    Apalagi ia anak bungsu dari 21 bersaudara.

    Kisah Asep di SMP ini dituturkan dengan sangat baik oleh . Gatot Sujono –teman satu kelasnya.

    Di forum penganugerahan itu Gatot –juga saya– diminta memberikan testimoni. Tugas itu ia laksanakan dengan amat menarik dan lucu.

    Saat sekolah di SMP dulu Asep tinggal di pondok pesantren Al Khoziny –yang didirikan oleh KH Abbas Khozin.

    Ayahnyalah yang menitipkan Asep kecil di situ. Sang ayah memang pernah lama di Jatim –berguru ke KH Wahab Chasbullah yang juga salah satu pendiri NU.

    Di pondok itu semua santri masak sendiri –kecuali Asep. Itu karena Asep tidak punya bahan yang bisa masak.

    Tengah malam barulah Asep ke dapur. Ia mencucikan tempat masak santri lainnya –yang biasanya digeletakkan begitu saja tanpa dicuci. Tujuan lainnya: mendapatkan sisa nasi yang biasanya tertinggal di dasar tempat tanak. Yakni nasi yang sudah jadi intip-kerak.

    Semua alat masak temannya bersih. Ia pun dapat makanan –sekali itu dalam sehari.

    Di pondok itu Asep belajar kitab-kitab agama di malam hari. Pagi-pagi berjalan kaki ke SMPN 1 Sidoarjo –sejauh sekitar 5 Km.

    Asep juga hanya mempunyai satu buku tulis –pelajaran apa pun ditulis di satu buku situ.

    Gatot berteman akrab karena satu bangku dengan Asep di pojok paling belakang.

    Pun waktu keduanya meneruskan sekolah di SMAN 1 Sidoarjo.

    ”Beliau itu pemberani. Waktu main sepak bola satu-satunya yang tidak pakai sepatu. Beliau tidak takut terinjak sepatu bola,” ujarnya.

    Selama bersahabat, seingat Gatot, hanya sekali bertengkar. Tapi seru sekali. Dan lama sekali.

    Penyebabnya tidak sepele. Itu terjadi waktu Gatot menulis cerita pendek. Tulisannya disalahkan oleh Asep. Gatot tidak mau terima itu.

    Itu soal bunyi kokok ayam jantan.

    ”Bunyi kokok ayam jantan kok kukuruyuk,” ujar Asep seperti yang ditirukan Gatot.

    Waktu itu Gatot lagi mendiskripsikan datangnya fajar pagi. Yang biasa ditandai dengan kokok ayam jantan: kukuruyuuuuuuuk!

    ”Bunyi kokok ayam itu kongkorongkoooong,” ujar Asep memberikan koreksi.

    Pertengkaran pun terjadi.

    Tidak pernah terselesaikan.

    Lalu Asep berhenti sekolah di kelas 2 SMA itu. Tidak ada lagi biaya setelah sang ayah meninggal dunia. Ia pun pamit kepada kiai pondok Al Khoziny.

    ”Waktu itu beliau sudah pandai matematika, bahasa Inggris dan bahasa Arab,” ujar Gatot.

    Pamit ke mana?

    Tidak tahu. Asep tidak punya tujuan pasti hendak ke mana. Ia pun berjalan ke timur. Ke arah Lumajang. Lalu Jember. Banyuwangi. Probolinggo. Akhirnya berhenti di Pasuruan. Ia mengajar matematika di sebuah sekolah di pedesaan Pasuruan.

    Perjalanan itulah yang terpatri dalam otak dan hatinya: saat melihat banyaknya pabrik PMA di sepanjang jalan.

    Saat meninggalkan pondok dan SMA Sidoarjo itu Asep hanya membawa satu tas. Isinya pun hanya dua stel baju dan dua buku: kamus bahasa Inggris dan Arab.

    Baca Juga:  Komisaris Harmonis

    Di Pasuruan itu Asep ikut ujian persamaan SMA. Lulus. Lalu masuk IKIP Surabaya –jurusan bahasa Inggris.

    Dengan bekal ijazah sarjana muda Asep bisa mengajar lebih resmi. Lalu kuliah lagi di jurusan bahasa Inggris di IKIP Malang. Sampai menjadi sarjana.

    Ia masih kuliah lagi di UIN Sunan Ampel Surabaya. Untuk jurusan sastra Arab. Sampai sarjana muda.

    Saat di Surabaya itu Asep mendirikan pondok pesantren. Yakni di Siwalankerto –sekitar 2 Km dari UIN Surabaya sekarang ini.

    Asep tahu untuk mendirikan sekolah diperlukan syarat formal kesarjanaan. Ia pun kuliah S2 di Universitas Islam Malang. Lalu S3 di Universitas Merdeka, juga di Malang. Dan kini Asep menjadi Prof. DR. KH Asep Saifudin Chalim.

    Presiden Joko Widodo hadir di acara pengukuhan Sabtu lalu. Saat menuju panggung Presiden Jokowi menghadap ke senat guru besar dulu. Lalu membungkuk khusu’ memberi hormat. Demikian pula setelah turun dari podium. Kembali menghadap senat dan kembali membungkuk hormat.

    ”Bapak Presiden Jokowi itu orang sholeh,” ujar Kiai Asep saat memulai pidato. Waktu itu presiden belum tiba di tempat penganugerahan. ”Tempat yang disinggahi orang sholeh akan mendapat berkah,” tambahnya.

    Kiai Asep memang memegang peran utama atas kemenangan telak Jokowi di Jatim. Padahal kalau suara di Jatim imbang saja, Prabowo lah yang menjadi presiden sekarang ini.

    Gatot sendiri berpisah total dari Asep. Setamat SMA Gatot melamar kerja di kementerian keuangan. Ia ditempatkan di kantor bendahara negara di Samarinda.

    Sebelas tahun Gatot di Kaltim. Sambil kuliah ekonomi di Universitas Mulawarman. Di Samarinda pula ia menemukan isterinya sekarang –anak orang Malang yang juga merantau ke Samarinda.

    Gatot lantas mendapat bea siswa ke Amerika. Ia kuliah di University of Delaware di Newark. Lalu mendapat bea siswa lagi untuk gelar doktor di Universitas Negeri Malang.

    Setelah pensiun kini Gatot ikut mengajar di Institute Abdul Chalim milik Asep.

    Pertengkaran saat SMA pun berakhir. Itu karena Gatot akhirnya tahu: di Jawa Barat bunyi kokok jago adalah ‘kongkorongkooong’.

    Gatot sama sekali tidak tahu kalau Asep itu anak kelahiran Majalengka –anak kiai besar di sana. ”Selama di SMA beliau menggunakan bahasa Jawa yang halus,” ujar Gatot.

    Saya ikut memberikan pidato testimoni di forum penganugerahan itu. Saya ingat saat ingin salat subuh di Pacet. Saya berangkat dari Surabaya jam 3 pagi. Tapi saat tiba di Amanatul Ummah sudah agak telat: mendapat tempat salat di emperan masjid.

    Habis salat Subuh tidak ada yang keluar masjid. Diteruskan dengan kajian kitab kuning. Semua santri membuka kitabnya. Saya ikut kitab santri di sebelah saya.

    ”Siapa yang mengajar itu,” tanya saya kepada santri di sebelah saya.

    ”Beliaunya Kiai Asep,” jawab si santri.

    Oh… Inilah kunci sukses Kiai Asep, kata saya dalam hati. Beliau total sekali dalam mengurus lembaga pendidikannya. Termasuk masih mengajar sendiri untuk kajian tertentu.

    Ternyata, tiap hari, Kiai Asep berangkat dari pondoknya di Siwalankerto Surabaya ke Pacet.

    Tiap jam 2.30 pagi.

    Tiap hari. (Dahlan Iskan)

    sumber: disway.id

    Berita Terkait

    catatan dahlan iskan disway disway kaltim
    Share. Facebook Twitter WhatsApp Telegram Email

    Komentar Batalkan balasan

    dahlan iskan
    BERITA POPULER
    • Warga Dingin Somasi Kapolres Kubar
      Warga Dingin Somasi Kapolres Kubar
    • Dispar Kukar Gelar Seabrek Lomba di Milenial Hijrah Festival
      Dispar Kukar Gelar Seabrek Lomba di Milenial Hijrah Festival
    • Peresmian Wisata Kuliner, Ketua DPRD Singgung Penerangan Jembatan
      Peresmian Wisata Kuliner, Ketua DPRD Singgung Penerangan Jembatan
    • Olahan Ikan Asin Melimpah, PemDes Semayang Dorong Masuk PADes
      Olahan Ikan Asin Melimpah, PemDes Semayang Dorong Masuk PADes
    • Ironi Samarinda; Sering Banjir, Air PDAM Malah Tak Mengalir
      Ironi Samarinda; Sering Banjir, Air PDAM Malah Tak Mengalir
    • Kaltim Kembangkan Hortikultura Berorientasi Ekspor
      Kaltim Kembangkan Hortikultura Berorientasi Ekspor
    • Dishut Bangun Hutan Rakyat lewat Penanaman Sengon
      Dishut Bangun Hutan Rakyat lewat Penanaman Sengon
    • Bakso Tahu Tanpa Daging, Pas untuk Hangatkan Badan
      Bakso Tahu Tanpa Daging, Pas untuk Hangatkan Badan
    • Masyarakat Adat Danum Paroy Segel Kayu Bulat PT NGU
      Masyarakat Adat Danum Paroy Segel Kayu Bulat PT NGU
    • Jadwal Damri Rute Banjarmasin-Samarinda yang Singgah di Grogot Berubah
      Jadwal Damri Rute Banjarmasin-Samarinda yang Singgah di Grogot Berubah
    Komentar Terbaru
    • Obednego pada Pertamina Buka Peluang Bangun SPBN
    • Wisnu pada Haji Aseng 
    • Andi yunianto pada Tambang Ilegal di Tahura, Catut Nama Pangdam VI Mulawarman dan Kapolda Kaltim
    • Ipo pada Pailit Elit
    • Trino Junaidi pada Besok, 3 Ribu Masyarakat Adat Kutai Kembali Cat Jembatan Kartanegara Jadi Kuning Sakral

    Tentang Kami

    𝐍𝐨𝐦𝐨𝐫𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐊𝐚𝐥𝐭𝐢𝐦 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐢𝐧𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐢𝐬𝐧𝐢𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐮𝐬𝐮𝐧𝐠 𝐢𝐧𝐬𝐩𝐢𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐚𝐤𝐚𝐥 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭. 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐚𝐣𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐮𝐝𝐮𝐭 𝐩𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐤𝐧𝐚𝐢 𝐩𝐞𝐫𝐢𝐬𝐭𝐢𝐰𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐬𝐢𝐬𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐞𝐝𝐚. 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐢𝐧𝐢 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐭𝐞𝐫𝐠𝐚𝐛𝐮𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐃𝐢𝐬𝐰𝐚𝐲 𝐍𝐞𝐰𝐬 𝐍𝐞𝐭𝐰𝐨𝐫𝐤 (𝐃𝐍𝐍) 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐛𝐢𝐧𝐚 𝐃𝐚𝐡𝐥𝐚𝐧 𝐈𝐬𝐤𝐚𝐧.

    Hubungi Kami

    𝐁𝐀𝐋𝐈𝐊𝐏𝐀𝐏𝐀𝐍:
    𝐊𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐤𝐬 𝐌𝐚𝐩𝐩𝐥𝐞 𝐁𝐥𝐨𝐤 𝐀 𝟔 𝐁𝐨𝐫𝐧𝐞𝐨 𝐏𝐚𝐫𝐚𝐝𝐢𝐬𝐨, 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤𝐩𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐒𝐞𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧.
    𝐓𝐞𝐥𝐞𝐩𝐨𝐧 :
    𝐊𝐚𝐧𝐭𝐨𝐫 : +𝟔𝟐 𝟓𝟒𝟐 𝟖𝟓𝟐𝟎𝟐𝟑𝟔 ;
    𝐑𝐞𝐝𝐚𝐤𝐬𝐢 : +𝟔𝟐𝟖𝟓𝟐-𝟐𝟖𝟏𝟏-𝟏𝟏𝟓𝟎 ;
    𝐈𝐤𝐥𝐚𝐧 : +𝟔𝟐𝟖𝟓𝟐-𝟓𝟎𝟖𝟖-𝟎𝟓𝟕𝟓

    𝐒𝐀𝐌𝐀𝐑𝐈𝐍𝐃𝐀:
    𝐉𝐥. 𝐆𝐚𝐭𝐨𝐭 𝐒𝐮𝐛𝐫𝐨𝐭𝐨 𝐆𝐠. 𝟏𝟒 𝐊𝐞𝐥. 𝐁𝐚𝐧𝐝𝐚𝐫𝐚, 𝐊𝐞𝐜. 𝐒𝐮𝐧𝐠𝐚𝐢 𝐏𝐢𝐧𝐚𝐧𝐠, 𝐊𝐨𝐭𝐚 𝐒𝐚𝐦𝐚𝐫𝐢𝐧𝐝𝐚.
    𝐈𝐤𝐥𝐚𝐧 : 𝟎𝟖𝟏𝟑𝟒𝟖𝟒𝟗𝟗𝟗𝟗𝟏

    𝐄𝐦𝐚𝐢𝐥 #𝟏: 𝐧𝐨𝐦𝐨𝐫𝐬𝐚𝐭𝐮𝐤𝐚𝐥𝐭𝐢𝐦[𝐚𝐭]𝐠𝐦𝐚𝐢𝐥[𝐝𝐨𝐭]𝐜𝐨𝐦
    𝐄𝐦𝐚𝐢𝐥 #𝟐: 𝐝𝐢𝐬𝐤𝐚𝐥𝐭𝐢𝐦[𝐚𝐭]𝐠𝐦𝐚𝐢𝐥[𝐝𝐨𝐭]𝐜𝐨𝐦

    Facebook Twitter Instagram YouTube Telegram RSS

    𝐍𝐨𝐦𝐨𝐫 𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐊𝐚𝐥𝐭𝐢𝐦 𝐭𝐞𝐫𝐯𝐞𝐫𝐢𝐟𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐃𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐬 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐍𝐨𝐦𝐨𝐫 𝟕𝟖𝟕/𝐃𝐏-𝐕𝐞𝐫𝐢𝐟𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢/𝐊/𝐈𝐗/𝟐𝟎𝟐𝟏

    Copyright © 2020 by NomorSatuKaltim.com 

    • Tentang
    • Redaksi
    • Privasi
    • Disclaimer
    • Pedoman Media Siber
    • Pemberitaan Ramah Anak
    • E-Paper
    • Iklan
    • Contact
    • Tentang
    • Redaksi
    • Privasi
    • Disclaimer
    • Pedoman Media Siber
    • Pemberitaan Ramah Anak
    • E-Paper
    • Iklan
    • Contact

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

     

    Memuat Komentar...
     

      Sign In or Register

      Welcome Back!

      Login to your account below.

      Lost password?