Di kepungan penyebaran virus corona yang kian tak terbendung. Pemerintah terpaksa mengorbankan banyak hal. Termasuk aspek ekonomi. Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masayarakat (PPKM) adalah formula terjitu yang bisa dilakukan mereka. Walau efektivitasnya masih diperdebatkan.
DEDI Nala Arungadalah seorang pengusaha kapal wisata di Tenggarong. Nama kapalnya, Queen Orca Houseboat. Tren moda transportasi sungai yang meningkat sedari tahun 2019, membuatnya tertarik terjun ke bisnis tersebut. Ia membuka rute dari Tenggarong, Kukar. Ke arah pedalaman; Kota Bangun, Muara Muntai, hingga kawasan Kutai Barat.
Memulai usahanya pada Agustus 2020, Nala masih sempat merasakan manisnya bisnis pariwisata tersebut. Sedikitnya dalam sebulan, kapalnya menjalankan 3 permintaan perjalanan. Jika dipersentasekan, 50 persen adalah wisatawan lokal, 50 persennya lagi adalah pengunjung dari luar Kalimantan.
Keberadaan kapal wisata ke area pedalaman Mahakam ini sekaligus terkoneksi dengan pengembangan wisata sungai dan danau di kawasan hulu. Sehingga klop sudah, berkesinambungan. Saling menguntungkan.
Tapi trip rutin sebulan 3 kali itu hanya berlangsung selama 6 bulan saja. Setelahnya, di mana pemerintah sudah mulai melakukan pengetatan yang super duper ketat. Jumlah tripnya bukan hanya turun.
“Dari Februari 2021 sampai sekarang (Agustus) kosong. Tidak ada trip sama sekali,” ungkap Nala.
Sebabnya, sejak awal tahun itu, tingkat kekhawatiran masyarakat semakin tinggi. Ditambah regulasi pembatasan dari pemerintah. Cocok lah sudah. “Pertama faktor pengetatan, kedua memang adanya kebijakan orang luar Kaltim tidak boleh masuk,” lanjutnya.
Dari pembatalan dari calon wisatawan, sampai kini sudah tak ada yang pesan lagi. Bisnis Nala jadi terancam kolaps dini. Lalu bagaimana pengusaha muda ini menanggapi soal PPKM yang nampaknya akan terus diperpanjang? Ia tak keberatan!
Ya, Nala setuju-setuju saja pemerintah terus memberlakukan PPKM. Asal, dibarengi dengan solusi. Selain harus lebih serius dalam eksekusinya. Karena sejauh PPKM berjalan, nyaris tak banyak penindakan yang dilakukan pemerintah pada mereka yang ngeyel. Sehingga yang tadinya PPKM dimaksudkan untuk menekan jumlah penularan, jadi tak terlalu efektif.

“Kalau secara regulasi harusnya ini efektif. Tapi lemahnya di eksekusi. Saya melihat di beberapa tempat tidak berlaku sesuai dengan kebijakannya,” ungkapnya.
Soal solusi, karena di dalam PPKM ada pembatasan ketat hingga larangan buka untuk jenis usaha tertentu. Nala mengharapkan ada bantuan yang diberikan pemerintah. Bukan sekadar paket sembako saja. Namun juga hajat-hajat penting lainnya. Yang terkorelasi dengan untung ruginya suatu usaha.
“Seperti relaksasi pajak, subsidi jaminan tenaga kerja, hingga subsidi biaya air (PDAM). Hal-hal seperti itu sangat membantu pengusaha,” ujarnya.
Intinya, pemerintah daerah harus tanggap dengan kondisi di daerahnya sendiri. Karena setiap daerah memiliki karakteristik dan persoalannya masing-masing. Tidak selalu sama dengan di Jakarta atau pun Pulau Jawa sana. Maka di antara PPKM yang sepertinya akan terus diberlakukan. Nala berharap pemerintah dalam hal ini Pemkab Kukar, sudi bertemu dengan para pengusaha. Paling tidak perwakilannya secara kelembagaan (Kadin).
“Rembug, mencari solusi bersama. Karena kalau tidak ada kebijakan yang secara ekstrem dari pemerintah, ekonomi akan stagnan. Usaha akan banyak yang tutup. Ini bakal mengakibatkan dampak ekonomi yang lebih buruk lagi,” kata Nala.
“Intinya saya setuju dengan adanya PPKM. Tapi perlu diingat, bukan hanya aspek kesehatan yang perlu diperhatikan. Tapi ekonomi masyarakat juga,” pungkasnya.
Nol Pendapatan
BERALIH ke Samarinda, salah satu destinasi wisata buatan, Taman Salma Shofa kini mulai harap-harap cemas. Karena sejak pertama kali PPKM diberlakukan. Dan Pemkot Samarinda meminta destinasi wisata tutup. Tempat rekreasi kolam renang yang terletak di Mugirejo itu tutup.
Sadam Husin, pengelolanya bilang, bukan hanya Salma Shofa. Namun seluruh destinasi yang tergabung dalam Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia (PUTRI) Samarinda kompak tutup. Karena menuruti titah pemerintah. Dan dibarengi kesadaran akan perlunya mereka berperan dalam menurunkan kurva penularan COVID-19.
Tapi sudah lebih satu bulan penutupan berlangsung. Hitung-hitungan mulai berlaku. Pasalnya, destinasi wisata merupakan salah satu bidang bisnis yang, tutup atau buka, harus tetap dirawat. Karena kalau dibiarkan begitu saja, akan mengalami kerusakan komponen yang membuat pengeluaran akan lebih bengkak lagi.
Jadi, kolam tetap dirawat, pekerjanya tetap bekerja sebagaimana mestinya. Sederhananya, operasional tetap jalan, sementara pendapatan, nol rupiah.
“Selama Covid ini saja jumlah pengunjung turun hingga titik terendahnya di angka 95 persen. Kalau rata-ratanya, sih, kami cuma dapat tertinggi itu 20 persen dari masa sebelum pandemi. Kalau sekarang, ya tidak ada kunjungan sama sekali,” jelas Sadam.
Meski pendapatan sedang seret, Sadam menilai PPKM tetap lah kebijakan paling jitu yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Setidaknya dari aspek kesehatan. Apalagi jika eksekusinya dilakukan dengan baik. Ia percaya jumlah penurunan kasusnya akan lebih signifikan.
“Tapi kita lebih suka kalau ada subsidi, sih,” katanya.
Sadam merasa kebijakan ekstrem dari pemerintah adalah pilihan yang seksi. Karena dari aspek ekonomi, PPKM yang tanpa kepastian ini akan membunuh harapan pengusaha. Ekstrem yang dimaksudnya adalah, jika tutup, ya sekalian semua tutup total. Fokus ke pemulihan kesehatannya dulu. Dengan catatan diterapkan dengan benar. Jangan ada pembiaran untuk mereka yang colongan membuka usaha.
“Atau sekalian buka saja. Kembali seperti semula. Adakan pembatasan 50 persen pengunjung. Serta syarat harus menerapkan prokes yang ketat,” usulnya.
Bicara soal kolaps, Sadam yakin destinasi yang dikelolanya masih bisa bertahan walau PPKM hingga akhir tahun. Namun bukan itu poinnya. Pemerintah tetap harus memperhatikan aspek ekonomi karena jika pun diperbolehkan buka kembali. Unit usaha, terutama destinasi wisata, perlu waktu berbulan-bulan lagi untuk pemulihan.
“Kalau boleh buka pun belum tentu ada yang datang, loh. Kami harus promosi ulang lagi segala macam. Ini yang harus diperhatikan,” ucapnya.
Pada dasarnya, iklim usaha di Kaltim khususnya. Di mana daerah ini menjadi previlensi nomor dua setelah DKI Jakarta, harus lah menjadi titik perhatian. Vaksinasi harus dikebut untuk mencapai heard imunity. Lalu selanjutnya, kebijakan apa yang ramah untuk pengusaha lokal, namun tetap dalam jalur tepat untuk membantu iklim usaha tumbuh. Karena kalau menunggu pandemi kelar, sampai kapan? Ava