Jakarta, nomorsatukaltim.com – Pemerintah mengobral banyak insentif bagi pengusaha batu bara. Khususnya pengusaha yang melakukan hilirisasi di dalam negeri. Insentif dituangkan melalui UU Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Insentif tersebut tak hanya diberikan dalam bentuk fiskal. Melainkan juga non-fiskal. Seperti kepastian berusaha. Insentif fiskal diatur dalam Pasal 38 UU Cipta Kerja. Dalam UU itu, pemerintah menyisipkan Pasal 128A di antara Pasal 128 dan Pasal 129 UU Minerba.
Lewat pasal baru tersebut, pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu. Terhadap kewajiban penerimaan negara. Pada ayat berikutnya, insentif tersebut dinyatakan akan diberikan dalam bentuk pembebasan pembayaran royalti.
Bunyinya, “Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen (nol persen).” Namun, ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu itu selanjutnya akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Sementara terkait insentif non-fiskal, pemerintah mengaturnya dalam UU Minerba. Kepastian berusaha yang diberikan oleh beleid tersebut mulai dari perpanjangan izin hingga umur cadangan tambang bagi hilirisasi batu bara yang terintegrasi.
Kepastian perpanjangan izin diatur dalam Pasal 169 A yang menyebutkan pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) diberikan jaminan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi setelah memenuhi persyaratan.
Kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK atau perjanjian masing-masing. Untuk jangka waktu paling lama 10 tahun. Dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Sementara kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua. Dalam bentuk IUPK. Sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian. Untuk jangka waktu paling lama 10 tahun. Sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B. Dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Selanjutnya, Pasal 169 A ayat 2 UU Minerba mengatur upaya peningkatan penerimaan negara dilakukan melalui pengaturan kembali pengenaan penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
Dalan hal ini, luas wilayah IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian sesuai rencana pengembangan seluruh wilayah kontrak atau perjanjian yang disetujui menteri.
Kemudian, Pasal 169 A ayat 3 menyebutkan, bila dalam pelaksanaan perpanjangan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, seluruh barang yang diperoleh selama masa pelaksanaan PKP2B yang ditetapkan menjadi barang milik negara tetap dapat dimanfaatkan. Dalam kegiatan pengusahaan pertambangan batu bara. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terkait integrasi umur cadangan tambang bagi hilirisasi batu bara, aturannya terdapat dalam pasal 169 B UU Minerba. Ayat (1) pasal tersebut menyebutkan, pada saat IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian diberikan, rencana pengembangan seluruh wilayah yang disetujui menteri menjadi Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk tahap kegiatan operasi produksi.
Namun, Pasal 169 B ayat 2 menyebutkan, untuk memperoleh IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemegang KK dan PKP2B harus mengajukan permohonan kepada menteri. Paling cepat dalam jangka waktu lima tahun dan paling lambat dalam jangka waktu satu tahun. Sebelum KK dan PKP2B berakhir.
Ayat selanjutnya menyatakan, dalam pemberian IUPK tersebut, Menteri ESDM mempertimbangkan keberlanjutan operasi, optimalisasi potensi cadangan mineral atau batu bara. Dalam rangka konservasi mineral atau batu bara dari WIUPK. Untuk tahap kegiatan operasi produksi, serta kepentingan nasional.
Menteri juga dapat menolak permohonan IUPK. Sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Jika berdasarkan hasil evaluasi, pemegang KK dan PKP2B tidak menunjukkan kinerja pengusahaan pertambangan yang baik.
***
Pengamat energi Universitas Tarumanagara Ahmad Redi menilai, hilirisasi sangat penting bagi negara. Untuk meningkatkan nilai tambah batu bara, konservasi cadangan batu bara, dan memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri.
Selain itu, penting untuk tumbuhnya industri pengembangan/pemanfaatan batu bara dan mengganti paradigma batu bara sebagai komoditas menjadi batu bara sebagai modal dasar pembangunan nasional.
Kendati demikian, hilirisasi batu bara selama ini menghadapi kendala. Yaitu biaya yang tinggi, teknologi yang mahal, dan pasar yang belum jelas. Insentif bebas royalti ini bisa menjadi opsi yang dapat diambil bagi perusahaan. Yang masuk ke bisnis hilirisasi.
“Kebijakan peningkatan nilai tambah ini sudah seharusnya dilakukan dari perspektif negara. Karena selama ini bisnis batu bara hanya bisnis keruk, angkut, dan jual tanah air. Padahal, sesuai Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, ia mesti sebesar-sebesar digunakan untuk kemakmuran rakyat,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Hendra Sinadia mengapresiasi pemberian insentif fiskal. Dalam mendorong pengembangan hilirisasi.
Namun, ia mengingatkan pengusaha mempertimbangkan banyak faktor. Dalam mengambil keputusan investasi. Salah satunya, kepastian pasar untuk menyerap produk yang dihasilkan. Terlebih, hilirisasi membutuhkan investasi yang besar, jangka panjang, dan risiko tinggi. “Kata kuncinya keekonomian,” ujar Hendra.
Sebagai informasi, porsi royalti untuk pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) sebesar 13,5 persen dari tonase produksi dikalikan harga jual.
Sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81/2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, besaran royalti yang harus dibayarkan pemegang IUP dan KK bervariasi. Bergantung pada tingkat kalori batu bara.
Kata dia, insentif ini tak serta-merta membuat investasi ke hilirisasi langsung meroket. Industri hilirisasi batu bara membutuhkan nilai investasi yang tidak sedikit. Investor membutuhkan jaminan kepastian insentif fiskal dan non-fiskal.
Pemerintah telah memberikan stimulus non-fiskal yang tercantum dalam UU Minerba terkait fleksibilitas izin bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi. Namun, kebijakan tersebut dinilai belum cukup. Insentif lainnya untuk mendorong hilirisasi adalah tax holiday atas pembelian barang konstruksi (EPC) dan pajak bumi bangunan (PBB). “Memang royalti itu yang paling signifikan. Dengan diberikan 0 persen adalah langkah yang tepat,” kata dia.
Hilirisasi, menurut pakar hukum pertambangan Ahmad Redi, sangat penting bagi negara. Untuk meningkatkan nilai tambah dan konservasi cadangan batu bara. Industri dalam negeri juga dapat tumbuh. Begitu pula pengembangan dan pemanfaatan hasil tambang tersebut. Pemberian royalti juga mengganti paradigma batu bara. Dari komoditas menjadi modal dasar pembangunan nasional.
Kebijakan peningkatan nilai tambah ini seharusnya dilakukan dalam perspektif negara. Selama ini, bisnis batu bara hanya keruk, angkut, dan jual. Padahal, sesuai Pasal 33 UUD 1945, kekayaan alam itu harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Hendra menjelaskan, guna menjamin kepastian investasi perusahaan tambang, APBI saat ini tengah menanti terbitnya peraturan pemerintah atau PP terkait pajak. Setiap produsen batu bara mendapat perlakuan pajak berbeda-beda. Besaran pajaknya tergantung generasi PKP2B yang perusahaan miliki.
“PP itu sangat penting sebagai dasar hukum perusahaan. Yang akan diperpanjang menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK),” ucapnya.
PT Arutmin Indonesia selaku pemegang PKP2B generasi pertama juga menyampaikan hal serupa. General Manager Legal & External Affairs Arutmin Indonesia Ezra Sibarani mengatakan, pihaknya tengah menanti terbitnya PP pajak. Perusahaan juga tengah menunggu keputusan resmi dari pemerintah terkait perpanjangan kontrak dan perubahan status PKP2B menjadi IUPK. PP itu sangat penting sekali bagi keberlangsungan bisnis Arutmin. “Berbeda dengan perusahaan lain, pajak kami 45 persen. Sementara yang lain 25 persen,” ujarnya.
Menanggapi soal royalti 0 persen, ia menyebut hal itu sebagai wujud nyata keseriusan pemerintah dalam mendorong hilirisasi batu bara. “Tentunya akan menambah keekonomian proyek hilirisasi yang butuh investasi sangat besar, teknologi yang masih jarang, dan offtaker (pembeli) yang terbatas,” ucapnya.
Produsen batu bara lainnya, PT Adaro Energy Tbk, menyampaikan perusahaan senantiasa menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Pihaknya akan patuh dan mengikuti aturan yang berlaku.
“Dengan melaksanakan optimalisasi pemanfaatan cadangan untuk peningkatan penerimaan negara dan pengembangan perusahaan,” ujar Head of Corporate Communication Adaro Energy, Febriati Nadira. (cnn/qn)