Wartawan Disway Kaltim area Bontang.
Oleh: Ichwal Setiawan
USIA Kota Bontang saat ini sudah genap 2 dekade. Bukan lagi prematur. Sudah jadi pemuda. Yang semangatnya selalu bergelora.
20 tahun lalu kondisinya berbeda. Belum ada jalan dua jalur. Masih jalan 1 jalur. Pun tanpa lampu penerangan. Kantor-kantor pemerintah masih menumpang di rumah-rumah warga.
Kiwari ini sudah jauh berbeda. Banyak pembangunannya. Beda jauh saat saya masih bermain layang-layang dulu.
Yang masih banyak kebun di sana sini. Masih banyak tanah lapang main bola sesama anak kampung.
Gedung pemerintahannya pun sudah besar-besar. Megah-megah yang berdiri di sudut kota sana.
Kotaku ini memiliki 500-an RT. Yang tersebar di 3 Kecamatan dan 15 Kelurahan. Semua infrastruktur tiap gang sudah disemenisasi.
Tak ada jalan berlumpur saat hujan. Paling hanya banjir saja.
Pembangunan di darat begitu massif. Tapi jauh berbeda di wilayah pesisir. Yang hidup di pulau-pulau itu.
70 persen wilayah Bontang berupa perairan. Daratanya kecil sekali. Ketimbang tetangganya Kutai Timur yang dari ujung ke ujung bisa ditempuh berjam-jam. Di Bontang cukup 15 menit. Asalkan melaju kencang.
Di pesisir seluruh warganya nelayan. Ada juga petani rumput laut. Tapi, kebanyakan bertani rumput laut dan menangkap ikan.
Perairan Bontang memang cukup ideal bertani rumput laut. Gelombang tak besar. Perairannya banyak yang dangkal-dangkal. Cukup ideal untuk bertani. Bahkan menjadi bos petani rumput laut.
Produksi rumput laut kering di Bontang masih sangat rendah. Rata-rata rumput laut kering 150 ribu ton. Sebenarnya bisa lebih besar. Tapi harus besar juga modalnya.
Kebanyakan petani ini bukan kelompok petani mampu. Nasir Lakada misalnya. Sudah menjalani usaha rumput laut sejak 2008.
Hasilnya. Belum begitu banyak berubah sejak mulai pertama kali. Ternyata penyebabnya pemasaran.
Pemasaran rumput laut itu gampang-gampang susah. Gampang bagi mereka yang punya relasi. Tapi tidak bagi petani. Yang sekolah hanya tamat SMP. Pun ada yang masih membaca terbata-bata.
Alhasil selama ini hasil produksinya dijual ke pengepul. Yang punya modal banyak itu. Yang relasinya sampai ke Surabaya sana.
Sebenarnya pemerintah sudah berkali-kali membantu para petani itu. Tapi setengah hati. Memang dibantu. Tiap tahun ada bantu tali dan bibit.
Saya melihatnya penyelesaian masalah tak tepat. Cenderung asal jadi.
Petani dan produksi itu sepaket. Bertani pasti belajar dari pengalaman. Petani itu pasti sudah berkali-kali mengalami pasang surut. Gagal panen. Maupun untung panen raya. Jadi mereka harusnya khatam soal produksi.
Petani rumput laut itu butuh penyelesaian masalah lebih komprehensif. Birokrasi daerah harusnya bisa menyelesaikan dengan sistematis.
Harusnya bukan hanya produksi saja. Pemasaran juga perlu. Karena pengalaman pemasaran itu tak mereka dapati dari lahan produksi.
Pemerintah harus ambil bagian. Relasi antara daerah bisa dimanfaatkan. Bisa juga dengan swasta. Asal mau saja. Pasti bisa. Supaya petani itu bisa naik kelas. Bisa jadi bos-bos petani juga. Bisa merdeka dari rantai kemiskinan. (*)