Nomorsatukaltim.com – Eco-farming atau pertanian berkelanjutan dengan sistem pertanian ramah lingkungan sudah mulai diterapkan, termasuk di Indonesia.
“Indonesia subur untuk tumbuhan organik, sudah saatnya kita goes to organic,” tegas Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inoasi Nasional (BRIN) Tri Mumpuni, melalui keterangan resminya, dikutip Senin (31/7/2023).
Menurutnya ada tiga prioritas utama BRIN yaitu kedaulatan pangan, kedaulatan energi, dan kedaulatan kesehatan.
“Sebanyak 80% kebutuhan pangan dunia justru berasal dari pertanian skala kecil. Karena itu kita jangan berpikir masifnya atau harus skala besar, tetapi dari pertanian skala kecilpun apabila jumlahnya banyak maka akan dapat memenuhi kebutuhan pangan,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan budaya yang masih perlu dieksplorasi.
“Indonesia punya Suku Anak Dalam, Badui Dalam, Dayak, dan lain-lain yang memiliki kebiasaan hidup mengkonsumsi apa yang disediakan di alam, hal ini perlu diiriset secara sungguh-sungguh,” jelas Tri Mumpuni.
Menanggapi hal itu, Ketua Kelompok Riset Ekonomi Sirkular dalam Simbiosis Sumber Daya Alam dan Agro-Industri dari Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PRSPBPDH) – Organisasi Riset Energi & Manufaktur (OREM) BRIN, Tri Martini Patria memaparkan pengalaman keterlibatannya dalam riset penerapan eco-farming di Indonesia.
“Pertanian ramah lingkungan merupakan sistem pertanian berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahanan produktivitas tinggi dengan memperhatikan pasokan hara dari penggunaan bahan organik, minimalisasi ketergantungan pada pupuk anorganik, perbaikan biota tanah, pengendalian organisme pengganggu tanaman secara terpadu,” ujarnya.
Ia mencontohkan pertanian bawang merah glowing di Nawungan Selopamioro, Imogiri, Bantul, DIY. “Kualitas bawang merahnya bagus, petani juga sudah menekan penggunaan pupuk anorganik dan pengendalian dengan pestisida sehingga lebih ramah lingkungan,” terangnya.
Salah satu periset Sosial Ekonomi PRSPBPDH BRIN, Hano Hanafi menyatakan walaupun produktivitasnya tinggi, tim peneliti memiliki peran terbatas dalam mendampingi petani.
“Penelitian dan pendampingan pada tingkat pemasaran hingga ke proses jual-belinya masih terbatas, umumnya hanya sampai di tahap produksi terkait produktivitas dan kualitas hasil panen saja,” ujarnya.
Hal ini menurutnya sangat riskan sebab eksisting strategi belum ada, sehingga petani rentan tertipu pemasaran.
Hano menyebutkan beberapa isu strategis yang masih harus ditindaklanjuti diantaranya terkait produktivitas yang sangat bergantung pada inovasi dan penerapan teknologi.
Sampai saat ini banyak petani hortikultura yang masih menggunakan pola konvensional. “Hal ini menyebabkan daya saing produk hortikultura masih lemah. Inovasi teknologi sangat bergantung pada hasil penelitian dan pengembangan teknologi,” jelasnua.
Ia mengakui bahwa kegiatan litbang belum berorientasi pada kebutuhan di lapang, pasar, dan karakteristik masyarakat Indonesia secara spesifik lokasi.
“Hal ini menggambarkan adanya potensi kearifan lokal yang belum terkelola dengan baik seperti teknologi ramah lingkungan, teknologi antisipasi perubahan iklim. Termasuk teknologi hemat air, teknologi perbanyakan benih bermutu, lain sebagainya,” ujar Hano. (*/ BRIN)